Minggu, 08 Juli 2012

Jual beli menurut islam


                      Jual Beli Menurut Islam


1.      Pengertian Jual Beli
Jual beli berasal dari kata al-bay’ berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut pengertian syariat, jual beli ialah: pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
Jual beli secara istilah mengandung suatu hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
a.      Adanya unsur tukar-menukar
b.      Pengalihan benda atau hak milik
c.       Ganti sebagai alat tukar
d.      Unsur rela sama rela
e.      Cara tertentu yang dibenarkan syara’

2.      Dasar Hukum Jual Beli
Landasan ijma’nya adalah ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namum demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

3.      Rukun dan syarat jual beli
a.      Rukun jual beli
Rukun dalam perbuatan jual beli terdiri dari:
1.      Harus ada dua orang ‘akid, yaitu pembeli dan penjual.
2.      Harus ada ma’kud aleh, yaitu yang dijualnya dan uang pembelinya.
3.      Harus ada sighat, yaitu ijab kabul (serah terima) dari kedua belah pihak.
b.      Syarat jual beli
Syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan diatas adalah:
1.      Orang yang berakad (pihak penjual dan pembeli)
a.      Kedua belah pihak haruslah orang yang dapat membedakan (memilih)/Sehat akal.
b.      Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan)
c.       Baligh (dewasa)
2.      Adanya ma’kud aleh (uang atau barangnya)
a.      Uang dan barangnya betul-betul milik penjual dan pembeli
b.      Barang yang dijualnya adalah suci.
c.       Dapat diketahui atau ditentukan ukuran dan timbangannya.
d.      Dapat dilihat jenisnya.
e.      Barang yang dijual bermanfaat menurut syara’
f.        Dapat diberikan barangnya atau uangnya kepada yang berkepentingan ketika akad.
3.      Harus memakai sighat (ijab kabul)
a.      Satu sama lainnya berada di satu tempat tanpa ada pemisahan yang merusak.
b.      Ada kesepakatan ijab dengan kabul pada barang yang saling mereka rela.
c.       Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi) seperti perkataan penjual dan pembeli.
4.      Bentuk dan macam jual beli
a.      Bentuk jual beli
1.      Jual beli shahih
2.      Jual beli bathil
3.      Jual beli fashid
b.      Macam-macam jual beli
1.      Jual beli salam (pesanan)
2.      Jual beli Muqayadah (barter)
3.      Jual beli Muthlaq
4.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
5.      Jual beli wafa’
B.      Bay’ Al-Wafa’
1.      Pengertian bay’ al-wafa’
Menurut sayyid Sabiq dalam fiqh sunahnya menyatakan bahwa bay’ al-wafa’ adalah orang yang butuh, menjual suatu barang dengan janji. Janji tersebut menyatakan bila pembayaran telah dipenuhi (dibayar kembali), barang dikembalikan lagi.
Sedang menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam pengantar fiqh Muamalahnya menyatakan bahwa bay’ al-wafa’ adalah akad jual beli atas dasar masing-masing pihak yang mempunyai hak menarik kembali pada kedua-dua iwadl itu (harga dan benda).
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa bay’ al-wafa’ ini mempunyai batas tenggang waktu yang terbatas misalnya satu tahun, dua tahun dan sebagainya. Apabila tenggang waktu tersebut telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya.
2.      Rukun dan syarat Bay’ Al-Wafa’
Ulama’ Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun dalam bay’ al-wafa’ adalah sama dengan rukun jual beli. Demikian juga syarat bay’ al-wafa’ menurut mereke sama dengan syarat jual beli pada umumnya.
3.      Hukum akad Bay’ Al-Wafa’
Bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan bay’ al-wafa’ telah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Baikh, baru kemudian ulama’ fiqh, dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasi jenis jual beli ini. Imam Najamuddin an-Nasafi seorang tokoh terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara mengatakan “Para Syaikh kami (Hanafi) membolehkan bay’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Dalam bay’ al-wafa’, menurut Az-zarqa apabila terjadi persengketaan maka penyelasaiannya dilakukan melalui pengadilan. Debgan demikian transaksi yang berlaku dalam bay’ al-wafa’ cukup jelas dan terinci serta mendapatkan jaminan yang kuat dari lembaga hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar